PKBM Ginus Itaco
Postingan kali ini aku mau sharing tentang sebuah sekolah namanya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Global
Inspirasi Nusantara – International Technology and Automotive College atau
disingkat PKBM Ginus Itaco. Sebenernya postingan ini aku ambil dari tugas kuliah Psikologi Pendidikan tentang sekolah untuk anak-anak placed at risk. Nah apa sih anak placed at risk itu? Trus Ginus Intaco itu sekolah yang seperti apa sih? Yuk baca!
Setiap anak memiliki peluang untuk
berhasil dan gagal di sekolah. Perbedaan antara sukses dan gagal tergantung
pada sekolah, orangtua, lembaga masyarakat, dan juga dipengaruhi faktor dari anak
itu sendiri. Mereka dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk belajar
(Thomas & Bainbridge, 2001).
Sebelum memasuki usia sekolah, sulit
memprediksi apakah seorang anak akan berhasil atau gagal. Namun, ada faktor
lain pada latar belakang anak yang bisa digunakan untuk memprediksi
keberhasilan atau kegagalan anak. Contohnya anak yang datang dari latar
belakang yang keluarga miskin atau berantakan biasanya menampakkan perilaku
yang agresif, menarik diri, mengalami masalah keterlambatan perkembangan, dan
lebih mungkin mengalami masalah di sekolah daripada siswa lain. Anak-anak yang
mengalami situasi seperti itulah yang disebut student at risk (Boykin & Noguera, 2011).
Sebelum anak memasuki usia sekolah, faktor
yang digunakan untuk memprediksi risiko anak dilihat dari status sosial ekonomi
dan kondisi keluarga mereka. Sedangkan setelah mereka mulai masuk sekolah,
faktor yang bisa digunakan untuk melihat faktor resiko adalah kemampuan membaca
yang rendah, mengulang kelas, dan adanya perilaku yang buruk (Hernandez, 2011).
Dalam Slavin (2018) ada 4 program bagi
anak-anak placed at risk atau
anak-anak yang berisiko, yaitu:
1.
Compensatory Education Programs
Pendidikan kompensasi digunakan untuk program yang
dirancang untuk mencegah atau memulihkan masalah belajar di kalangan siswa yang
berasal dari keluarga berpenghasilan rendah atau bersekolah di lingkungan yang
memiliki penghasilan rendah. Beberapa program intervensi ditujukan untuk bayi
dan balita yang berisiko untuk mencegah pengulangan yang akan terjadi di
kemudian hari, sedangkan beberapa program intervensi ditujukan untuk menjaga
anak-anak tetap dapat sekolah.
Pendidikan kompensasi digunakan untuk melengkapi
pendidikan bagi siswa yang memiliki latar belakang yang kurang beruntung, yang
mengalami masalah di sekolah, dan berpotensi memiliki faktor resiko di sekolah.
Program kompensasi yang terbesar adalah “Title
I” (Slavin, 2018). Program ini didanai pemerintah federal untuk menyediakan
layanan tambahan bagi siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah
dan siswa yang mengalami masalah di sekolah (Manna, 2008).
2.
Early Intervention Programs
Program
pendidikan ini lebih fokus pada pencegahan dan intervensi awal daripada fokus
pada remediasi (Chambers, Cheung, Slavin, Smith, & Laurenzano, 2010).
Program yang menekankan stimulasi pada bayi, memberi pelatihan pada orang tua,
dan memberi pelayanan lain bagi anak baru lahir sampai berusia 5 tahun terbukti
memiliki efek jangka panjang pada keberhasilan sekolah anak yang berisiko
(Slavin, 2018). Bukti lain bahwa pemberian intervensi di awal tidak membuat
anak tertinggal adalah penelitian Whitehurst dkk (1999) yang menemukan bahwa
efek jangka panjang dari program intervensi awal menekankan pada kesadaran
fonemik dan strategi preliterasi lainnya.
Penelitian
tentang tindak pencegahan yang dilakukan Slavin (1998) menunjukkan bahwa
anak-anak yang berisiko dapat berhasil jika diberi instruksi yang baik dan
layanan insentif pada awal masa sekolah. Adanya intervensi awal juga memastikan
bahwa anak-anak yang membutuhkan pelayanan jangka panjang dapat diidentifikasi
sejak dini, sehingga masalahnya bisa diselesaikan sejak awal dan tidak perlu
mendapatkan pendidikan khusus (Vellutino dkk, 1996).
3.
Comprehensive School Reform Programs
Program
CSR ini adalah pendekatan sekolah yang memperkenalkan strategi berbasis
penelitian dalam setiap aspek sekolah, seperti kurikulum, pengajaran,
penilaian, pengelompokan, bantuan bagi anak yang memerlukan, peran keterlibatan
orangtua, dan unsur lain (Kidron & Darwin, 2007). Program CSR yang banyak
digunakan dan diteliti secara luas adalah “Success
for All” (Slavin, Madden, Chambers, & Haxby, 2009). Program ini fokus
pada pencegahan dan intervensi awal untuk sekolah dasar dan menengah.
Program
CSR lain yaitu Talent Development High
School (Balfanz & MacIver, 2000; Balfanz dkk., 2004), the Institute forStudent Achievement
(Bloom & Unterman, 2012), danEvery
Classroom, Every Day (Early dkk., 2016).
4.
After-School and Summer School Programs
Program
after-school biasanya menggabungkan
beberapa kegiatan akademik seperti tugas rumah dengan kegiatan olahraga, drama,
maupun kesenian (Cooper dkk., 2000; Friedman, 2003;). Penelitian tentang
program after-school membuktikan
bahwa meningkatkan prestasi siswa dapat dilakukan
dengan memberi bimbingan individu atau memperpanjang hari akademik (Fashola,
2002).
Sedangkan
program summer school digunakan
sebagai kesempatan terakhir bagi siswa untuk memperbaiki diri dan tidak tinggal
kelas. Penelitian mengenai program musim panas ini telah menemukan manfaat
program ini pada pencapaian siswa (Zvoch & Stevens, 2013). Lauer dkk (2006)
melakukan penelitian pada kedua jenis program ini. Mereka menemukan bahwa
program after-school dan summer school ini menunjukkan hasil
membaca dan matematika yang lebih bagus pada anak yang mengikuti program ini
daripada yang tidak. Penemuan penting dari penelitian tersebut adalah bahwa
anak-anak yang berjuang dapat dibantu dengan memperpanjang waktu belajar mereka
dan dibantu dengan penjelasan atau tutoring
yang baik, terutama jika waktu tambahan yang diberikan digunakan untuk
mencapai target pembelajaran.

PKBM GINUS ITACO
Contoh sekolah bagi anak-anak placed at risk di Indonesia saya
mengambil sekolah yang didirikan oleh Ibu Susi Sukaesih. Sekolah itu bernama Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat Global Inspirasi Nusantara – International
Technology and Automotive College atau disingkat PKBM Ginus Intaco. Untuk
menjelaskan mengenai sekolah ini saya mencari informasi melalui internet dan melakukan
tanya jawab secara langsung via whatsapp
dengan pimpinan PKBM Ginus Itaco, ibu Susi Sukaesih.
PKBM Ginus
Itaco merupakan sekolah kesetaraan Paket B/setara SMP dan Paket C/setara SMA gratis berbasis
wirausaha dan teknologi. PKBM Ginus Itaco menyelenggarakan pendidikan gratis
100% untuk siswa putus sekolah/dhuafa/yatim/piatu. Sekolah ini terletak di Jl.
Pala Raya No. 26 Perumahan Harapan Baru 1, Kel. Kota Baru Bekasi Barat.
PKBM Ginus
Itaco pada awalnya didirikan pada 2012 oleh Ibu Susi Sukaesih dengan nama SMK
Itaco. Berawal dari rasa keprihatinan Ibu Susi Sukaesih melihat banyaknya siswa
yang putus sekolah di Kota Bekasi, maka beliau memutuskan untuk membuat sekolah
bagi anak-anak prasejahtera dengan bantuan orang tua asuh. Pada awalnya
terkumpul 20 siswa untuk angkatan pertama, yang berasal dari keluarga
prasejahtera dimana orang tuanya bekerja sebagai ART, tukang ojek, supir
angkut, buruh serabutan, dan pekerja kasar lainnya. Bahkan beberapa orang
tuanya sudah meninggal. Kemudian pada tahun 2016 SMK Itaco di bawah naungan
Yayasan Peduli Mandiri berubah nama menjadi PKBM Ginus Itaco dan telah
mempunyai izin operasional di bawah Dinas Pendidikan Kota Bekasi.
Visi PKBM
Ginus Itaco adalah:
1. Memperluas
akses pendidikan masyarakat putus sekolah/pra sejahtera dengan menyelenggarakan
pendidikan bebas biaya
2. 100%
menyediakan akses kepada masyarakat/corporate
untuk menjadi volunteer/donatur
3. Menyediakan
akses untuk peningkatan keilmuan dan ekonomi masyarakat
Misi PKBM Ginus Itaco adalah:
1. Menyelenggarakan
pendidikan paket B dan C gratis untuk siswa putus sekolah dhuafa/ yatim/piatu
2. Mengajak
masyarakat/corporate untuk
berpartisipasi menjadi orang tua asuh/donatur/ volunteer
3. Menyediakan
program-program keterampilan seperti menjahit, desain grafis, programming, Ms Office, video production,
tata rias, dll
4. Mengembangkan
usaha sosial (sidina.id) sebagai wadah meningkatkan skill wirausaha siswa dan
juga membantu biaya operasional sekolah/siswa
Keunggulan PKBM Ginus Itaco adalah:
1. Siswa
mendapat ijazah kesetaraan SMP/SMA
2. Siswa
dibekali keterampilan Multimedia (design/video),
programing, tata rias, menjahit, Ms Office
3. Siswa
dibekali keterampilan wirausaha (melalui PT. Sidina Sejahtera Abadi) dan
langsung bekerja dengan upah rata-rata Rp500.000 – Rp1.000.000 per bulan.
4. Beasiswa
100% untuk siswa dhuafa/yatim/piatu
5. Menyelenggarakan
program nasi bungkus sedekah
6. Menyediakan
guru volunteer dari kalangan praktisi
7. Waktu
belajar fleksibel (weekend)
Selain tujuh
keunggulan tersebut sekolah ini juga terbukti berhasil dalam mendidik siswanya.
Hal itu terlihat dari banyaknya prestasi yang sudah didapat oleh
murid-muridnya. Prestasi tersebut antara lain Juara 2 Lomba Wirausaha, Juara 1 Lomba
Desain Logo, dan masih banyak lagi. Selain itu, bagi pendiri dan pimpinan PKBM
Ginus Itaco pernah dinobatkan sebagai pemenang
Best Women Microentrepreneur Citi
Microentrepreneurship Awards 2017-2018.
Berdasarkan niat untuk memutus rantai kemiskinan, maka
pilihan PKBM Ginus Itaco untuk membuka kelas hanya pada waktu weekend terasa sangat tepat. Hal ini
mengingat bahwa mayoritas siswanya sudah memiliki pekerjaan yang tentunya akan
menyulitkan bagi mereka untuk meneruskan pendidikan secara regular. Pada saat
ini, siswa PKBM Ginus Itaco untuk Paket B sejumlah 11 orang, dengan rentang
usia mulai 17 tahun sampai 42 tahun. Sebagian besar dari mereka telah memiliki
pekerjaan tetap ataupun pekerjaan serabutan dengan penghasilan antara Rp500.000
– Rp1.500.000 per bulan. Sedangkan orang tua mereka memiliki pekerjaan dengan
penghasilan antara Rp0 – Rp1.500.000 per bulan.
Sementara
jumlah siswa Paket C sebanyak 20 orang dengan rentang usia 17 tahun sampai 43
tahun. Sebagian besar dari mereka telah memiliki pekerjaan tetap ataupun
pekerjaan serabutan dengan penghasilan antara Rp500.000 – Rp4.500.000 per
bulan. Sedangkan orang tua mereka memiliki pekerjaan dengan penghasilan sebesar
Rp400.000 – Rp3.000.000 per bulan.
Menariknya,
setiap siswa memiliki pilihan kelas ketrampilan/skill sesuai dengan minat ataupun potensi mereka yang kelak dapat
mereka pergunakan untuk menambah penghasilan ataupun untuk mencari nafkah
selepas sekolah. Ada siswa yang hanya mengambil 1 kelas ketrampilan/skill saja, namun ada yang mengambil 5
kelas ketrampilan/skill. Mengingat
bahwa kelas hanya dilaksanakan pada weekend,
maka saat mereka masuk sekolah selain mengikuti pelajaran umum mereka juga akan
mengikuti kelas ketrampilan/skill
sesuai pilihan mereka.
Yang terbaru
adalah semenjak Tahun Ajaran 2019/2020 PKBM Ginus Itaco juga menerima siswa pre school/PAUD dan siswa Sekolah Dasar
walau jumlahnya belum banyak. Terdapat 5 anak siswa pre school/PAUD berkisar pada usia 4 tahun sampai 6 tahun. Sama
seperti kelas Paket B atau Paket C, orang tua para siswa prescholl/PAUD juga berpenghasilan rendah berkisar antara kurang
dari Rp500.000 sampai Rp1.500.000 per bulan. Kelima anak tersebut mengambil
kelas pre school dan calistung
sebagai persiapan masuk Sekolah Dasar.
Selain itu
ada 1 siswa usia Sekolah Dasar berumur 12 tahun yang mengambil kelas
ketrampilan/skill menjahit.
Sepertinya orang tuanya yang hanya berpenghasilan Rp1.500.000 per bulan ingin
mempersiapkan sang anak agar kelak dapat memiliki penghasilan dari ketrampilan
yang dimilikinya jika sang anak tidak mampu mengenyam pendidikan sampai ke
jenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan materi pada Slavin (2018) mengenai placed at risk student, maka PKBM Ginus
Itaco telah menerapkan dua program yang dijelaskan dalam buku tersebut, yaitu:
1.
Compensatory Education Programs
Sebagaimana disampaikan oleh Slavin (2018) bahwa program
Compensatory Education Programs
dirancang untuk memberi keterampilan bagi anak-anak prasekolah yang kurang
beruntung untuk memiliki keterampilan yang mereka perlukan di awal sekolah.
PKBM Ginus Itaco rupanya juga melihat masih banyaknya anak-anak usia prasekolah
di lingkungan PKBM Ginus Itaco yang tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana
anak lain seusianya, sehingga mereka tidak memiliki kesiapan dan ketrampilan
yang dibutuhkan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar.
Beruntung kemudian PKBM Ginus Itaco berinisiatif
untuk menerima mereka sebagai siswa dan memberikan materi membaca, menulis, dan
berhitung yang sangat dibutuhkan setiap siswa di awal-awal Sekolah Dasar. Berdasarkan
data yang saya peroleh dari ibu Susi Sukaesih bahwa terdapat 5 orang anak yang
masuk kelas pre school/PAUD. Kelima
siswa tersebut berasal dari keluarga yang masuk dalam kelas menengah ke bawah,
sehingga orang tua mereka tidak memiliki uang untuk memasukkan anak-anak mereka
ke sekolah PAUD atau Taman Kanak-Kanak.
2.
Comprehensive School Reform Programs
Menurut
Kidron & Darwin (2007) program Comprehensive School Reform Programs
ini adalah pendekatan sekolah yang memperkenalkan strategi berbasis penelitian
dalam setiap aspek sekolah, seperti kurikulum, pengajaran, penilaian,
pengelompokan, bantuan bagi anak yang memerlukan, peran keterlibatan orangtua,
dan unsur lain. Berdasarkan hasil tanya
jawab saya dengan ibu Susi Sukaesih, murid-murid yang berada di PKBM Ginus
Intaco ini 95% karena faktor ekonomi dan datang dari keluarga marginal. Latar
belakang mereka juga berbeda, ada yang pernah sekolah lalu drop out dan ada yang memang sebelumnya tidak melanjutkan sekolah
karena masalah ekonomi. Masalah lain yang diakui oleh Ibu Susi Sukaesih adalah
para siswa cenderung kurang percaya diri dan kurang determinasi.
Dengan latar belakang siswa seperti tersebut di
atas, PKBM Ginus Itaco merasa perlu melakukan penyesuaian kurikulum/ metode pengajaran,
keterlibatan pihak lain dan sebagainya agar pelaksanaan pendidikan dapat
berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu PKBM Ginus Intaco menyusun langkah-langkah
sebagai berikut:
a.
Menetapkan lama
pendidikan minimal 2 tahun.
b.
Sejak awal
memberikan pengertian dan motivasi kepada pada para siswa ataupun orang tua
mereka bahwa pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan.
c.
Selain belajar
mata pelajaran umum diberikan juga kelas ketrampilan/skill dengan berbagai macam pilihan yang bisa dipilih siswa sesuai
minat dan potensi mereka.
d.
Waktu untuk
sekolah juga fleksibel yaitu weekend,
sehingga murid yang bekerja atau harus membantu orangtua bisa tetap bersekolah
saat weekend.
e.
Mengingat waktu
belajar yang terbatas (hanya saat weekend
saja), maka setiap siswa yang membutuhkan pemahaman lebih mendalam terkait
pelajaran dapat berdiskusi melalui whatsapp
dengan guru masing-masing.
f.
Untuk menjaga
kedisiplinan siswa dan meningkatkan motivasi mereka dalam belajar telah disusun
tata tertib siswa dengan menerapkan reward
and punishment. Selain itu PKBM Ginus Itaco berupaya
sering mendatangkan guru tamu dan memberi training
tentang motivasi dan untuk menambah wawasan bagi siswa.
g.
Menerapkan
keterbukaan sehingga setiap ada masalah dapat segera diselesaikan demi menjaga
agar para siswa tidak ada yang sampai putus sekolah.
h.
Untuk menjaga
semangat belajar disusun metode pembelajaran yang menyenangkan dan disediakan
sarana prasarana kelas yang memadai.
i.
Mengingat PKBM
Ginus Itaco memberikan pendidikan gratis bagi para siswanya, maka perlu
menggandeng volunteer atau donator
guna keberlangsungan kegiatan belajar mengajar.
j.
Menumbuhkan mindset dan karakter wirausahawan dengan
memberikan pengalaman wirausaha sedini mungkin melalui PT. Sidina (awalnya
bernama Komunitas Siswa Wirausaha yang dirintis sejak 2013).
k. Membagikan sebagian profit PT. Sidina kepada siswa
(antara Rp500.000 – Rp1.000.000 per bulan) sebagai ongkos mereka ke sekolah dan
membantu ekonomi keluarga sehingga tidak ada alasan tidak sekolah karena sibuk
membantu keluarga mencari uang.
l.
Saat ini PT.
Sidinia menampung alumi PKBM Ginus Itaco bekerja pada PT. Sidina yang membuat
aneka produk seperti printing mug,
konveksi baju dan kaos, tas handmade,
souvenir pernikahan, goodie bag untuk perusahaan dll.
Informasi
lain terkait PKBM Ginus Itaco bisa diakses di http://pkbmitaco.com/
dan informasi terkait
program wirausaha siswa tersebut bisa diakses di http://siswawirausaha.com/
.
Referensi:
Balfanz, R., Legters, N., & Jordan, W. (2004). Catching
Up: Impact of the Talent Development Ninth Grade Instructional Interventions in
Reading and Mathematics in High-Poverty High Schools. Report 69. Center
for Research on the Education of Students Placed at Risk CRESPAR.
Balfanz, R., & Mac Iver, D. (2000). Transforming high-poverty urban middle schools into strong learning institutions: Lessons from the first five years of the Talent Development Middle School. Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR), 5(1-2), 137-158.
Bloom, H. S., & Unterman, R. (2012). Sustained
positive effects on graduation rates produced by New York City's small public
high schools of choice (Vol. 12). New York, NY: MDRC.
Boykin, A. W., & Noguera, P. (2011). Creating the
opportunity to learn: Moving from research to practice to close the achievement
gap. Ascd.
Chambers, B., Cheung, A., Slavin, R., Smith, D., & Laurenzano,
M. (2010). Effective early childhood education programmes: a best-evidence
synthesis. Reading: CfBT Education Trust.
Cooper, H., Charlton, K., Valentine, J. C., Muhlenbruck, L.,
& Borman, G. D. (2000). Making the most of summer school: A meta-analytic
and narrative review. Monographs of the society for research in child
development, i-127.
Early, D. M., Berg, J. K., Alicea, S., Si, Y., Aber, J. L.,
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2016). The impact of every classroom, every day
on high school student achievement: Results from a school-randomized
trial. Journal of Research on Educational Effectiveness, 9(1),
3-29.
Fashola, O. S. (2002). Building effective afterschool
programs. Corwin Press.
Friedman, L. (2003). Promoting Opportunity After School. Educational
Leadership, 60(4), 79-82.
Hernandez, D. J. (2011). Double jeopardy: How third-grade
reading skills and poverty influence high school graduation. Annie E.
Casey Foundation.
Kidron, Y., & Darwin, M. J. (2007). A systematic review
of whole school improvement models. Journal of education for students
placed at risk, 12(1), 9-35.
Lauer, P. A., Akiba, M., Wilkerson, S. B., Apthorp, H. S.,
Snow, D., & Martin-Glenn, M. L. (2006). Out-of-school-time programs: A
meta-analysis of effects for at-risk students. Review of educational
research, 76(2), 275-313.
Manna, P. (2008). Federal Aid to Elementary and
Secondary Education: Premises, Effects, and Major Lessons Learned. Center
on Education Policy.
Slavin, R. E. (1998). Can Education Reduce Social
Inequity?. Educational leadership, 55(4), 6-10.
Slavin, R. S. (2018). Educational Psychology, Theory and
Practice (12th ed). New York: Pearson.
Slavin, R. E., Madden, N. A., Chambers, B., & Haxby, B.
(2009). Two million children: Success for All. Thousand Oaks, CA:
Corwin.
Thomas, M. D., & Bainbridge, W. L. (2001). 'All Children
Can Learn': Facts and Fallacies. Phi Delta Kappan, 82(9),
660.
Vellutino, F. R., Scanlon, D. M., Sipay, E. R., Small, S. G.,
Pratt, A., Chen, R., & Denckla, M. B. (1996). Cognitive profiles of
difficult-to-remediate and readily remediated poor readers: Early intervention
as a vehicle for distinguishing between cognitive and experiential deficits as
basic causes of specific reading disability. Journal of Educational
Psychology, 88(4), 601.
Whitehurst, G. J., Zevenbergen, A. A., Crone, D. A., Schultz,
M. D., Velting, O. N., & Fischel, J. E. (1999). Outcomes of an emergent
literacy intervention from Head Start through second grade. Journal of
Educational Psychology, 91(2), 261.
Zvoch, K., & Stevens, J. J. (2013). Summer school effects
in a randomized field trial. Early Childhood Research Quarterly, 28(1),
24-32.
Keren shasa.. tetap menulis dan berbagi y
BalasHapus