Stimulasi Pencegahan Agresivitas pada Anak

 

Melanjutkan postingan sebelumnya mengenai kasus agresivitas pada anak, postingan kali ini akan membahas kegiatan-kegiatan stimulasi yang dapat digunakan orang tua untuk mencegah munculnya sikap agresif pada anak. Kegiatan apa saja ya kira-kira? Yuk cek!


Kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) menjagi kasus yang paling sering dilaporakan ke KPAI. Sejak tahun 2011 - 2019, jumlah pelaporan kasus ABH ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada kasus lain. Sedikit review dari postingan sebelumnya yang berjudul “Agresivitas pada Anak”, berdasarkan analisis perspektif psikologi perkembangan perilaku agresif anak dapat terjadi karena perkembangan kognitif dan perkembangan sosioemosional anak yang kurang maksimal. Penelitian Alatas (n.d) yang mengukur lima domain perkembangan Early Development Instrument pada beberapa negara menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia unggul dalam hal komunikasi, pengetahuan umum, dan kompetensi sosial, akan tetapi cenderung lemah dalam perkembangan kognitif. Tingginya angka kasus ABH dan rendahnya tingkat perkembangan kognitif anak yang merupakan salah satu penyebab perilaku agresif anak menandakan bahwa kasus agresifitas anak merupakan hal yang sangat urgent untuk dibahas. Untuk mencegah perilaku agresif, anak memerlukan stimulasi dan bimbingan yang tepat dan sesuai di setiap tahap perkembangan untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya dan mengurangi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Lingkungan memiliki peran besar dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, baik itu lingkungan di rumah dengan orang tua maupun lingkungan sebaya. Oleh karena itu, postingan kali ini akan menjelaskan mengenai aspek-aspek apa saja yang perlu diberi stimulasi untuk mencegah perilaku agresif, sekaligus referensi kegiatan yang dapat dilakukan oleh orang tua di rumah.

 

<<TEORI PERKEMBANGAN>>

Intervensi psikologi yang akan dibahas kali ini merujuk pada anak usia 7 - 11 tahun. Berdasarkan tahap perkembangan Piaget, anak pada usia tersebut berada pada tahap operasional konkret, sehingga mereka sudah mampu berpikir logis dan menerapkannya pada hal-hal konkrit (mental action), dan mampu membayangkan langkah-langkah dalam mengerjakan suatu hal karena mereka sudah dapat berpikir secara relasi (Santrock, 2011). Jika berdasarkan teori Erikson, anak pada usia tersebut berada pada tahap Industry vs Inferiority dimana anak akan mulai banyak mendapat pengalaman baru dari hasil interaksi sosial, yang jika tidak terstimulasi dengan baik akan menumbuhkan rasa rendah diri pada anak (Santrock, 2011). Usia 7-11 tahun dipilih dengan pertimbangan bahwa anak pada usia ini sudah mampu berpikir relasi dan melakukan mental action sehingga mempermudah pemberian stimulasi mengenai aspek kognitif dan sosioemosi untuk mencegah munculnya perilaku agresif. Selain itu, pemilihan rentang usia ini juga dipilih untuk mencegah anak merasa rendah diri, dan sebaliknya justru dapat membuat anak tumbuh dengan baik, dengan anak tumbuh dengan baik maka perilaku agresif anak dapat dicegah.

Aspek pertama yang akan diberi stimulasi adalah ASPEK KOGNITIF. Aspek ini membantu anak mengidentifikasi dan memahami pikiran maladaptif dan interpretasi negatif dalam diri yang berkaitan dengan munculnya perilaku agresif (Nitakusminar, Susilowati, & Koswara, 2020). Aspek kognitif juga membantu anak untuk menyadari bahwa proses berpikir mereka dapat mempengaruhi perilaku, yang sekaligus dapat mengajarkan anak untuk mengenal dan memahami perasaan orang lain, melihat dari sudut pandang orang lain, menghargai perbedaan, dan mengakui keberadaan orang-orang disekitarnya (Nitakusminar, dkk., 2020). Jika kognitif anak dapat terstimulasi dengan baik tentunya peluang muncul perilaku agresif dapat berkurang. Hal ini karena pengambilan perspektif berperan penting untuk menentukan apakah nantinya anak akan mengembangkan perilaku dan sikap prososial ataukah antisosial (Collins dkk., dalam Santrock, 2011). Santrock (dalam Aghnaita, 2017) menyatakan bahwa anak pada usia 6 tahun - pubertas mengalami pertumbuhan terbesar pada lobus temporal dan lobus parietal yang akan meningkatkan kemampuan spasial dan bahasa anak. Rentang usia ini cocok dengan usia sasaran intervensi.

Aspek kedua yang akan distimulasi adalah ASPEK SOSIOEMOSI. Nitakusminar, dkk (2020) menyebutkan bahwa aspek sosioemosi meliputi tiga hal. Pertama adalah kontrol diri, hal ini mengajarkan keterampilan perencanaan serta antisipasi dan pemecahan masalah agar anak nantinya dapat mengendalikan emosi dan mengembangkan pikiran positif. Kedua adalah evaluasi diri, hal ini mengajarkan anak untuk membandingkan perilakunya kemarin dengan perilakunya hari ini supaya anak dapat menilai perilaku dan melihat kemajuan diri secara objektif dan tepat, sekaligus anak dapat melakukan koreksi jika menemukan hambatan dalam melakukan kontrol diri. Ketiga adalah mengembangan sensitivitas dengan meningkatkan kesadaran anak untuk “mendengar, merasakan, menghayati” suasana emosinya, ketegangan fisik yang dialami, dan berkonsentrasi pada emosi mengganggu dengan menggunakan teknik imajinasi mahkota pikiran. Selman (dalam Santrock, 2011), menyatakan bahwa anak usia 6 - 8 tahun mulai memahami bahwa orang lain memiliki perspektif berbeda yang menjadi dasar anak dapat berpikir dari posisi orang lain. Piaget (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa anak pada usia 10 tahun ke atas memasuki tahap moral otonom, yaitu tahap dimana anak menjadi sadar hukum sehingga akan mempertimbangkan intensi dan konsekuensi dalam bertindak. Rentang usia ini cocok dengan sasaran intervensi.

Fondasi perilaku moral menurut teori psikoanalisis adalah rasa bersalah dan untuk menghindari perasaan bersalah (Gazzaniga dkk., 2012). Proposisi utama psikoanalisis adalah kepribadian (kognitif, afektif, dan behavior) ada karena dorongan tidak sadar (Gazzaniga dkk., 2012). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa moral seseorang secara tidak sadar akan mempengaruhi perilaku seseorang karena cenderung akan menghindari perasaan bersalah. Diharapkan bahwa anak yang diberi stimulasi kognitif dan sosioemosi yang baik akan menumbuhkan moral yang baik pula sehingga anak akan terhindar dari perilaku agresivitas. Intervensi ini menggunakan dasar teori humanistik. Proposisi utama humanistik adalah kepribadian (kognitif, afektif, dan behavior) ada karena manusia berusaha mencapai aktualisasi diri (Gazzaniga dkk., 2012). Menurut teori ini, ketika anak dicintai tanpa syarat maka kepribadian anak tersebut cenderung baik (Gazzaniga dkk., 2012). Dapat disimpulkan jika anak menerima cinta tanpa syarat dari orang tua selama pemberian stimulasi, maka akan semakin besar peluang anak memiliki kepribadian baik. Dalam intervensi ini, cinta tanpa syarat ditunjukkan dengan orang tua yang akan memberi reward saat anak melakukan keberhasilan namun tidak memberi punishment jika anak gagal, pemberian reward juga dapat dilakukan bahkan ketika anak gagal sebagai bentuk apresiasi atas usahanya dan untuk memotivasi anak.

 

<<TEORI INTERVENSI>>

Intervensi ini menggunakan pendekatan bermain. Coplan & Arbeau (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa bermain berkontribusi besar bagi perkembangan kognitif dan sosioemosi anak. Freud dan Erikson (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa bermain dapat membantu anak menguasai kecemasan dan masalah karena dengan bermain ketegangan dalam diri anak mereda. Bagi Piaget dan Vygotsky bermain merupakan tempat yang sangat baik untuk perkembangan kognitif anak dan menyediakan pengaturan yang sempurna untuk melatih struktur kognitif anak (Santrock, 2011). Bermain juga memungkinkan anak untuk menghilangkan energi fisik yang berlebihan dan melepaskan ketegangan yang terpendam (Santrock, 2011). Piaget (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa bermain dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak, karena bermain memungkinkan anak untuk mempraktikkan kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki dengan cara yang santai dan menyenangkan. Berlyne (dalam Santrock, 2011) menggambarkan permainan sebagai sesuatu yang menyenangkan karena mampu memuaskan keinginan eksplorasi. Dengan bermain, anak akan memunculkan rasa keingintahuan yang membawa mereka pada hal-hal baru. Dalam intervensi ini, pendekatan bermain digunakan karena mampu menstimulasi anak untuk belajar banyak hal dengan cara yang menyenangkan bagi mereka. Intervensi ini menyediakan berbagai permainan yang akan mengajak anak untuk mengembangkan kemampuan kosakata dan grammar, problem solving, dan regulasi emosi.

Mengembangkan kemampuan KOSAKATA & GRAMMAR. Pengetahuan anak mengenai bahasa berkembang di usia SD. Berdasarkan Santrock (2011), anak usia 6-11 tahun dapat menguasai 14-40 ribu kosakata dan mampu berpikir logis serta mengembangkan kemampuan analisis. Pada masa anak-anak tengah-akhir kesadaran anak tentang pemahaman sosial khususnya untuk memahami perspektif orang lain akan meningkat. Oleh sebab itu, sebaiknya orang tua dapat memanfaatkan pengembangan kosakata dan grammar ini untuk memberi stimulasi anak mengenai lingkungan sosial sekaligus menstimulasi perkembangan moral anak. Anak yang kemampuan kosakatanya berkembang dapat mengembangkan kemampuan untuk memahami sesuatu. Orang tua dapat mengajarkan bahasa dengan cara yang mudah, menyenangkan, dan menyesuaikan dengan karakter anak. Menurut Piaget dan Vygotsky (dalam Santrock, 2011), hanya dengan kegiatan mudah yaitu mengajak anak bermain, hal ini sudah berperan untuk perkembangan kognitif anak, yang kedepannya berperan juga untuk mengurangi perilaku agresif anak terutama agresivitas verbal karena anak terbiasa untuk memahami segala sesuatu dan berbicara hal positif.

Mengajarkan PROBLEM SOLVING. Sesuai tahap perkembangan kognitif Piaget yang telah disebutkan di atas, pada usia ini anak sudah dapat berpikir logis dan menerapkannya pada hal-hal konkret (Santrock, 2011).  Orang tua bisa memanfaatkan tahap ini untuk mengajarkan problem solving kepada anak, mulai dari hal ringan di sekitar anak. Hal ini didukung dengan penjelasan dari buku Life-Span Development (Santrock, 2011) bahwa anak usia 7 tahun cenderung menghargai pikiran sendiri, dan pada usia 11-12 tahun akan akan meningkatkan pemahaman dan keterampilan tentang ingatan untuk mengevaluasi prestasi. Alangkah baiknya jika orang tua bisa memanfaatkan tahap perkembangan ini untuk menanamkan memori bahwa dia berhasil melakukan problem solving dengan baik sehingga saat anak akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dia mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik. Orang tua dapat mengajarkan strategi dan cara menyelesaikan masalah dengan hal-hal konkrit sehingga anak lebih mudah memahami. Orang tua dapat mengajarkan dengan instruksi yang efektif dan mudah dipahami sehingga anak mengerti mencari solusi yang tepat dari permasalahan yang mereka alami. Menurut Freud dan Erikson (Santrock, 2011), dengan orang tua mengajak anak bermain, hal ini dapat membantu anak menguasai kecemasannya. Karena dengan bermain anak dapat melepaskan ketegangannya, sehingga ia dapat mengatasi masalah yang dialaminya dengan baik, hal ini meminimalisir munculnya perilaku agresif pada anak.

Mengajarkan REGULASI EMOSI. Regulasi emosi merupakan keefektifan mengelola keinginan untuk adaptasi dan mencapai tujuan. Pada masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, anak akan mengembangkan pemahaman dan regulasi diri terhadap emosi (Cunningham dkk; Sarni dkk, dalam Santrock, 2011). Denham dkk; Kuebli; Thompson; Thompson & Goodvin (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa ada 6 perubahan perkembangan yang penting dalam emosi di masa kanak-kanak menengah - akhir, yaitu: (i) meningkatkan pemahaman emosi, (ii) meningkatkan pemahaman bahwa dalam sebuah situasi sosial kita dapat mengalami lebih dari satu emosi, (iii) meningkatkan kecenderungan untuk lebih menyadari kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi emosi, (iv) meningkatkan kemampuan untuk menekan atau mengungkapkan reaksi emosi negatif, (v) menggunakan strategi inisiatif diri untuk mengarahkan kembali perasaan, dan (vi) kapasitas untuk berempati secara tulus. Pada masa kanak-kanak, kontrol eksternal dapat membantu mereka dalam meregulasi emosi. Strategi untuk meregulasi emosi negatif adalah dengan meningkatkan emosi positif (Gazzaniga dkk, 2010). Stimulasi mengenai emosi tidak dapat terlepas dari stimulasi aspek kognitif, karena dalam Gazzaniga (2010) disebutkan bahwa salah satu dari tiga komponen emosi adalah penilaian kognitif. Saat orang tua mengajak anak bermain, anak akan merasa senang dan tidak jarang mereka tertawa. Tertawa dapat menstimulasi pelepasan hormon dopamin, serotonin, dan endorphin untuk menstabilkan perasaan (Gazzaniga dkk, 2010). Anak yang memiliki regulasi diri yang baik juga akan memiliki kemampuan mengatur perilaku, emosi, dan pikiran yang baik serta dapat mempengaruhi kompetensi sosial dan prestasi mereka. Peran orang tua sebagai kontrol eksternal dapat menjadi latihan bagi anak untuk meregulasi emosi yang kedepannya akan beralih menjadi kontrol internal yang muncul atas inisiatif sendiri, anak akan lebih pandai dalam mengatur situasi dan menentukan strategi coping yang efektif. Dengan memiliki kemampuan regulasi emosi, peluang anak untuk agresif akan berkurang karena mereka mampu mengontrol emosi diri mereka sendiri.

 

<<INTERVENSI / AKTIVITAS BERMAIN>>

Ada beberapa alternatif intervensi berupa kegiatan bermain yang dapat digunakan. Bermain memiliki banyak sisi positif diantaranya, menyenangkan dan menggembirakan bagi anak, dorongan bermain muncul dari anak bukan paksaan orang lain sehingga anak melakukan karena spontan dan sukarela, serta bermain bersifat fleksibel, tidak diwajibkan, dimana anak menetapkan aturan main sendiri dalam permainan dan berperilaku aktif (Musfiroh, 2014). Sejalan dengan berjalannya perkembangan kognitif anak, berdasarkan pendapat dari Piaget (dalam Musfiroh, 2014) mengemukakan bahwa tahapan bermain pada anak usia 7-11 tahun adalah game with rules, dimana pada tahap ini anak mulai bisa mengembangkan peraturan yang harus diikuti selama proses bermain, anak mulai mengerti aturan-aturan objektif terlepas dari waktu dan orang-orang tertentu yang dipelajari melalui aktivitas bermain.

Referensi kegiatan pertama adalah SOSIODRAMA / BERMAIN PERAN. Proses bermain peran melibatkan interaksi secara verbal dengan orang lain, dimana didalamnya terdapat percakapan, karakter dan masalah yang melatih anak untuk bersosialisasi (Aida & Rini, 2015). Bermain peran dalam intervensi ini akan berfokus pada permainan sosiodrama. Metode sosiodrama dapat didefinisikan sebagai suatu dramatisasi untuk memecahkan suatu masalah yang tidak menggunakan bahan tertulis, tanpa latihan dan tanpa menyuruh anak untuk menghafalkan sesuatu. Sehingga, sosiodrama merupakan salah satu teknik pembelajaran untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah sosial, membantu mengembangkan kemampuan anak untuk memecahkan masalah dan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan pada anak melalui suatu suasana yang didramatisasikan sehingga anak dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan (Khadijah & Armanila, 2017). Terdapat lima tujuan dari metode sosiodrama menurut Herry (dalam Khadijah & Armanila, 2017) diantaranya adalah untuk melatih anak mendengarkan dan menangkap cerita singkat dengan teliti, untuk memupuk dan melatih keberanian anak, memupuk daya cipta dan menggali kreativitas berpikir anak, belajar menghargai dan menilai orang lain yang menyatakan pendapat serta untuk mendalami masalah sosial (Khadijah & Armanila, 2017). Metode atau permainan ini bisa diterapkan guru dalam kelas-kelas pembelajaran, dimana proses pembelajaran bisa diselingi metode ini agar anak tidak hanya ,mengkonsumsi materi namun juga bisa berproses dengan lingkungan. Pada usia 7-11 anak akan mendapatkan banyak pengalaman melalui interaksi sosial, mengalami perkembangan terbesar pada spasial dan bahasa serta usia dimana anak sadar anak hukum sehingga dengan adanya permainan ini stimulasi terkait dengan aspek-aspek perkembangan tersebut dapat terstimulasi dengan baik.

Referensi kegiatan kedua yaitu MENULIS JURNAL / DIARY. Catatan harian adalah karangan tertulis yang berisi catatan pribadi seseorang, catatan kejadian yang dialami maupun masalah sehari-hari (Utami, 2018). Komadi (dalam Utami, 2018) menyebutkan bahwa menulis buku harian dapat memberikan 6 manfaat yaitu melatih pengungkapan pendapat dan perasaan secara spontan dan sistematis, membantu berpikir obyektif dan berfikir bening, dengan menulis seseorang bisa mengurangi benang kusut persoalan yang sebelumnya rumit, mengurangi ketegangan dan stres, mengabadikan ide-ide, kenangan, atau peristiwa yang dianggap penting dan berkesan serta dengan menulis seseorang bisa tumbuh lebih dewasa dan bijak. Selain itu, menurut Luthfiyani (dalam Karlina, 2016), salah satu manfaat yang didapatkan dari menulis diary adalah mengenali diri sendiri. Dengan menulis, seseorang bisa melihat apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh diri sendiri seperti perasaan emosi, senang, marah, kesal, dan bingung, dengan menuliskan setiap kejadian atau perasaan yang dirasakan, maka dapat dilihat kematangan seseorang dalam menghadapi permasalahan dalam dirinya. (Karlina, 2016). Buku diary dapat menjadi wadah anak untuk memperkaya kosakata dalam kehidupan sehari hari, dapat melihat apa yang dialami dan dirasakan oleh diri sendiri ketika sedang sedih, senang, marah, kesal,, bingung dan emosi-emosi lain (Karlina, 2016). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis diary dapat mengasah kosakata, grammar, menstimulasi perkembangan bahasa, wadah untuk mencurahkan perasaan, masalah, mengenali emosi dan perasaan anak mengajari anak untuk melakukan kegiatan menulis ekspresif serta refleksi diri.

Referensi kegiatan ketiga berupa PUZZLE & MAZE. Menurut Yuliani (dalam Lestari, 2020) penggunaan puzzle dalam permainan dapat membantu anak dalam mencari, menemukan, menyusun strategi, mencocokkan bentuk, melatih kesabaran dan belajar menyelesaikan masalah yang sederhana. Puzzle didefinisikan sebagai sebuah permainan yang menguji pengetahuan, skill dan intelegensi pada anak (Oxford Wordpower dalam Keshta & Al-Faleet, 2013). Selain itu di beberapa penelitian menunjukkan bahwa puzzle dapat mengembangkan atensi yang lebih baik pada anak (Keshta & Al-Faleet, 2013). Permainan maze dapat melatih anak untuk memecahkan masalah dalam mencari jalan keluar, cara berfikir serta kreativitas anak (Utami, Utami, & Sarumpaet, 2018). Menurut Subagio dkk. (dalam Wulandari, Sumarni & Rahelly, 2018) Permainan labirin atau maze merupakan sebuah permainan dimana pemain harus menemukan jalan keluar dari sebuah pintu masuk ke sebuah pintu keluar, hal ini dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif anak dalam berpikir logis dan menemukan jalan keluar dari permasalahan. Guru dapat memberikan anak buku yang berisi puzzle-puzle dan maze yang dapat dimainkan atau dikerjakan anak, dimana jika anak berhasil menyelesaikan permainan tersebut guru dapat menyediakan reward bagi anak. Buku permainan puzzle dan maze tersebut juga dapat dipadukan dengan kegiatan pembelajaran yang ada misal dalam studi kasus, pelajaran matematika, olahraga dll. Seperti yang telah dijelaskan diatas hal ini adalah salah satu media untuk menanamkan memori pada anak bahwa dia berhasil melakukan problem solving dengan baik sehingga saat anak akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dia mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik.

Ketiga permainan tersebut dapat diakses pada link berikut. Semoga bermanfaat!


Referensi: 

Aghnaita, A. (2017). Perkembangan fisik-motorik anak 4-5 tahun pada permendikbud no. 137 tahun 2014 (Kajian konsep perkembangan anak). Al-Athfal: Jurnal Pendidikan Anak, 3(2), 219-234.

Aida, N., & Rini, R. A. P. (2015). Penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada pendidikan anak usia dini. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 4(1).

Alatas, H. I. (n.d). Potret perkembangan anak usia dini di Indonesia. http://documents1.worldbank.org/curated/en/363711468039868650/pdf/583790BRI0P0891BLIC10ECED0Dec021Ind.pdf

Gazzaniga, M. S., Heatherton, T. F., & Halpern, D. F. (2010). Psychological Science (3ed). New York: WW Norton.

Karlina, D. A. (2016). Menulis buku diari dalam keseharian siswa untuk meningkatkan layanan bimbingan dan konseling di SD. Mimbar Sekolah Dasar, 3(2), 151-162.

Keshta, A. S., & Al-Faleet, F. K. (2013). The effectiveness of using puzzles in developing Palestinian tenth graders' vocabulary achievement and retention. Humanities and Social Sciences, 1(1), 46-57.

Khadijah, K., & Armanila, A. (2017). Bermain dan Permainan Anak Usia Dini. Medan: Perdana Publishing.

Lestari, L. D. (2020). Pentingnya mendidik problem solving pada anak melalui bermain. Jurnal Pendidikan Anak, 9(2), 100-108.

Musfiroh, T. (2014). Teori dan konsep bermain. Universitas Terbuka, 1-44.

Nitakusminar, M., Susilowati, E., & Koswara, H. (2020). Intervensi kontrol-diri terhadap perilaku agresif anak jalanan di kota cimahi. Peksos: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial, 19(2).

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13ed). New York: McGraw-Hill.

Utami, W. T. P. (2018). Developing relationship of teachers and students through snap diary as a children’s friendly school support in elementary school. In Social, Humanities, and Educational Studies (SHEs) Conference Series, 1(1).

Utami, L. O., Utami, I. S., & Sarumpaet, N. (2018). Penerapan metode problem solving dalam mengembangkan kemampuan kognitif anak usia dini melalui kegiatan bermain. Tunas Siliwangi: Jurnal Program Studi Pendidikan Guru PAUD STKIP Siliwangi Bandung, 3(2), 175-180.

Wulandari, A. D., Sumarni, S., & Rahelly, Y. (2018). Pengembangan game maze berbasis media interaktif sesuai tema untuk anak usia 5-6 tahun di TK IT Izzudin Palembang. Jurnal Pendidikan Anak, 7(1), 81-92.

 

Disusun oleh: Audrey Marsha Kusumawardhani, Ayu Sarastika, Windy Tria Yunika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HaRi yaNg mEnyeNangKan

JaWabaN TeKa-tEki

#FUNFACT LM Psikologi 5