Stimulasi Pencegahan Agresivitas pada Anak
Melanjutkan postingan sebelumnya mengenai kasus agresivitas pada anak, postingan kali ini akan membahas kegiatan-kegiatan stimulasi yang dapat digunakan orang tua untuk mencegah munculnya sikap agresif pada anak. Kegiatan apa saja ya kira-kira? Yuk cek!
Kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) menjagi kasus
yang paling sering dilaporakan ke KPAI. Sejak tahun 2011 - 2019, jumlah
pelaporan kasus ABH ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi
daripada kasus lain. Sedikit review dari postingan sebelumnya yang
berjudul “Agresivitas pada Anak”, berdasarkan
analisis perspektif psikologi perkembangan perilaku agresif anak dapat terjadi
karena perkembangan kognitif dan perkembangan sosioemosional anak yang kurang
maksimal. Penelitian Alatas (n.d) yang mengukur lima domain perkembangan Early
Development Instrument pada beberapa negara menunjukkan bahwa anak-anak
Indonesia unggul dalam hal komunikasi, pengetahuan umum, dan kompetensi sosial,
akan tetapi cenderung lemah dalam perkembangan kognitif. Tingginya angka kasus
ABH dan rendahnya tingkat perkembangan kognitif anak yang merupakan salah satu
penyebab perilaku agresif anak menandakan bahwa kasus agresifitas anak
merupakan hal yang sangat urgent untuk dibahas. Untuk mencegah perilaku
agresif, anak memerlukan stimulasi dan bimbingan yang tepat dan sesuai di
setiap tahap perkembangan untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya dan mengurangi
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Lingkungan memiliki peran besar dalam
perkembangan dan pertumbuhan anak, baik itu lingkungan di rumah dengan orang
tua maupun lingkungan sebaya. Oleh karena itu, postingan kali ini akan
menjelaskan mengenai aspek-aspek apa saja yang perlu diberi stimulasi untuk
mencegah perilaku agresif, sekaligus referensi kegiatan yang dapat dilakukan
oleh orang tua di rumah.
<<TEORI PERKEMBANGAN>>
Intervensi psikologi yang akan dibahas kali ini
merujuk pada anak usia 7 - 11 tahun. Berdasarkan tahap perkembangan Piaget,
anak pada usia tersebut berada pada tahap operasional konkret, sehingga mereka
sudah mampu berpikir logis dan menerapkannya pada hal-hal konkrit (mental
action), dan mampu membayangkan langkah-langkah dalam mengerjakan suatu hal
karena mereka sudah dapat berpikir secara relasi (Santrock, 2011). Jika
berdasarkan teori Erikson, anak pada usia tersebut berada pada tahap Industry
vs Inferiority dimana anak akan mulai banyak mendapat pengalaman baru dari
hasil interaksi sosial, yang jika tidak terstimulasi dengan baik akan
menumbuhkan rasa rendah diri pada anak (Santrock, 2011). Usia 7-11 tahun
dipilih dengan pertimbangan bahwa anak pada usia ini sudah mampu berpikir
relasi dan melakukan mental action sehingga mempermudah pemberian
stimulasi mengenai aspek kognitif dan sosioemosi untuk mencegah munculnya
perilaku agresif. Selain itu, pemilihan rentang usia ini juga dipilih untuk
mencegah anak merasa rendah diri, dan sebaliknya justru dapat membuat anak
tumbuh dengan baik, dengan anak tumbuh dengan baik maka perilaku agresif anak
dapat dicegah.
Aspek pertama yang akan diberi stimulasi adalah ASPEK
KOGNITIF. Aspek ini membantu anak mengidentifikasi dan memahami pikiran
maladaptif dan interpretasi negatif dalam diri yang berkaitan dengan munculnya
perilaku agresif (Nitakusminar, Susilowati, & Koswara, 2020). Aspek
kognitif juga membantu anak untuk menyadari bahwa proses berpikir mereka dapat
mempengaruhi perilaku, yang sekaligus dapat mengajarkan anak untuk mengenal dan
memahami perasaan orang lain, melihat dari sudut pandang orang lain, menghargai
perbedaan, dan mengakui keberadaan orang-orang disekitarnya (Nitakusminar,
dkk., 2020). Jika kognitif anak dapat terstimulasi dengan baik tentunya peluang
muncul perilaku agresif dapat berkurang. Hal ini karena pengambilan perspektif
berperan penting untuk menentukan apakah nantinya anak akan mengembangkan
perilaku dan sikap prososial ataukah antisosial (Collins dkk., dalam Santrock,
2011). Santrock (dalam Aghnaita, 2017) menyatakan bahwa anak pada usia 6 tahun
- pubertas mengalami pertumbuhan terbesar pada lobus temporal dan lobus
parietal yang akan meningkatkan kemampuan spasial dan bahasa anak. Rentang usia
ini cocok dengan usia sasaran intervensi.
Aspek kedua yang akan distimulasi adalah ASPEK
SOSIOEMOSI. Nitakusminar, dkk (2020) menyebutkan bahwa aspek sosioemosi
meliputi tiga hal. Pertama adalah kontrol diri, hal ini mengajarkan
keterampilan perencanaan serta antisipasi dan pemecahan masalah agar anak
nantinya dapat mengendalikan emosi dan mengembangkan pikiran positif. Kedua
adalah evaluasi diri, hal ini mengajarkan anak untuk membandingkan perilakunya
kemarin dengan perilakunya hari ini supaya anak dapat menilai perilaku dan
melihat kemajuan diri secara objektif dan tepat, sekaligus anak dapat melakukan
koreksi jika menemukan hambatan dalam melakukan kontrol diri. Ketiga adalah
mengembangan sensitivitas dengan meningkatkan kesadaran anak untuk “mendengar,
merasakan, menghayati” suasana emosinya, ketegangan fisik yang dialami, dan berkonsentrasi
pada emosi mengganggu dengan menggunakan teknik imajinasi mahkota pikiran.
Selman (dalam Santrock, 2011), menyatakan bahwa anak usia 6 - 8 tahun mulai
memahami bahwa orang lain memiliki perspektif berbeda yang menjadi dasar anak
dapat berpikir dari posisi orang lain. Piaget (dalam Santrock, 2011) menyatakan
bahwa anak pada usia 10 tahun ke atas memasuki tahap moral otonom, yaitu tahap
dimana anak menjadi sadar hukum sehingga akan mempertimbangkan intensi dan
konsekuensi dalam bertindak. Rentang usia ini cocok dengan sasaran intervensi.
Fondasi perilaku moral menurut teori psikoanalisis
adalah rasa bersalah dan untuk menghindari perasaan bersalah (Gazzaniga dkk.,
2012). Proposisi utama psikoanalisis adalah kepribadian (kognitif, afektif, dan
behavior) ada karena dorongan tidak sadar (Gazzaniga dkk., 2012). Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa moral seseorang secara tidak sadar akan mempengaruhi
perilaku seseorang karena cenderung akan menghindari perasaan bersalah.
Diharapkan bahwa anak yang diberi stimulasi kognitif dan sosioemosi yang baik
akan menumbuhkan moral yang baik pula sehingga anak akan terhindar dari
perilaku agresivitas. Intervensi ini menggunakan dasar teori humanistik.
Proposisi utama humanistik adalah kepribadian (kognitif, afektif, dan behavior)
ada karena manusia berusaha mencapai aktualisasi diri (Gazzaniga dkk., 2012).
Menurut teori ini, ketika anak dicintai tanpa syarat maka kepribadian anak
tersebut cenderung baik (Gazzaniga dkk., 2012). Dapat disimpulkan jika anak
menerima cinta tanpa syarat dari orang tua selama pemberian stimulasi, maka
akan semakin besar peluang anak memiliki kepribadian baik. Dalam intervensi
ini, cinta tanpa syarat ditunjukkan dengan orang tua yang akan memberi reward
saat anak melakukan keberhasilan namun tidak memberi punishment jika
anak gagal, pemberian reward juga dapat dilakukan bahkan ketika anak
gagal sebagai bentuk apresiasi atas usahanya dan untuk memotivasi anak.
<<TEORI INTERVENSI>>
Intervensi ini menggunakan pendekatan bermain.
Coplan & Arbeau (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa bermain
berkontribusi besar bagi perkembangan kognitif dan sosioemosi anak. Freud dan
Erikson (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa bermain dapat membantu anak
menguasai kecemasan dan masalah karena dengan bermain ketegangan dalam diri
anak mereda. Bagi Piaget dan Vygotsky bermain merupakan tempat yang sangat baik
untuk perkembangan kognitif anak dan menyediakan pengaturan yang sempurna untuk
melatih struktur kognitif anak (Santrock, 2011). Bermain juga memungkinkan anak
untuk menghilangkan energi fisik yang berlebihan dan melepaskan ketegangan yang
terpendam (Santrock, 2011). Piaget (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa
bermain dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak, karena bermain
memungkinkan anak untuk mempraktikkan kemampuan dan keterampilan yang mereka
miliki dengan cara yang santai dan menyenangkan. Berlyne (dalam Santrock, 2011)
menggambarkan permainan sebagai sesuatu yang menyenangkan karena mampu
memuaskan keinginan eksplorasi. Dengan bermain, anak akan memunculkan rasa
keingintahuan yang membawa mereka pada hal-hal baru. Dalam intervensi ini,
pendekatan bermain digunakan karena mampu menstimulasi anak untuk belajar
banyak hal dengan cara yang menyenangkan bagi mereka. Intervensi ini
menyediakan berbagai permainan yang akan mengajak anak untuk mengembangkan
kemampuan kosakata dan grammar, problem solving, dan regulasi emosi.
Mengembangkan kemampuan KOSAKATA & GRAMMAR.
Pengetahuan anak mengenai bahasa berkembang di usia SD. Berdasarkan Santrock
(2011), anak usia 6-11 tahun dapat menguasai 14-40 ribu kosakata dan mampu
berpikir logis serta mengembangkan kemampuan analisis. Pada masa anak-anak
tengah-akhir kesadaran anak tentang pemahaman sosial khususnya untuk memahami
perspektif orang lain akan meningkat. Oleh sebab itu, sebaiknya orang tua dapat
memanfaatkan pengembangan kosakata dan grammar ini untuk memberi
stimulasi anak mengenai lingkungan sosial sekaligus menstimulasi perkembangan
moral anak. Anak yang kemampuan kosakatanya berkembang dapat mengembangkan
kemampuan untuk memahami sesuatu. Orang tua dapat mengajarkan bahasa dengan
cara yang mudah, menyenangkan, dan menyesuaikan dengan karakter anak. Menurut
Piaget dan Vygotsky (dalam Santrock, 2011), hanya dengan kegiatan mudah yaitu
mengajak anak bermain, hal ini sudah berperan untuk perkembangan kognitif anak,
yang kedepannya berperan juga untuk mengurangi perilaku agresif anak terutama
agresivitas verbal karena anak terbiasa untuk memahami segala sesuatu dan
berbicara hal positif.
Mengajarkan PROBLEM SOLVING. Sesuai
tahap perkembangan kognitif Piaget yang telah disebutkan di atas, pada usia ini
anak sudah dapat berpikir logis dan menerapkannya pada hal-hal konkret
(Santrock, 2011). Orang tua bisa memanfaatkan tahap ini untuk mengajarkan
problem solving kepada anak, mulai dari hal ringan di sekitar anak. Hal
ini didukung dengan penjelasan dari buku Life-Span Development (Santrock,
2011) bahwa anak usia 7 tahun cenderung menghargai pikiran sendiri, dan pada
usia 11-12 tahun akan akan meningkatkan pemahaman dan keterampilan tentang
ingatan untuk mengevaluasi prestasi. Alangkah baiknya jika orang tua bisa
memanfaatkan tahap perkembangan ini untuk menanamkan memori bahwa dia berhasil
melakukan problem solving dengan baik sehingga saat anak akan
tumbuh dengan keyakinan bahwa dia mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik.
Orang tua dapat mengajarkan strategi dan cara menyelesaikan masalah dengan
hal-hal konkrit sehingga anak lebih mudah memahami. Orang tua dapat mengajarkan
dengan instruksi yang efektif dan mudah dipahami sehingga anak mengerti mencari
solusi yang tepat dari permasalahan yang mereka alami. Menurut Freud dan
Erikson (Santrock, 2011), dengan orang tua mengajak anak bermain, hal ini dapat
membantu anak menguasai kecemasannya. Karena dengan bermain anak dapat
melepaskan ketegangannya, sehingga ia dapat mengatasi masalah yang dialaminya
dengan baik, hal ini meminimalisir munculnya perilaku agresif pada anak.
Mengajarkan REGULASI EMOSI. Regulasi
emosi merupakan keefektifan mengelola keinginan untuk adaptasi dan mencapai
tujuan. Pada masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, anak akan mengembangkan
pemahaman dan regulasi diri terhadap emosi (Cunningham dkk; Sarni dkk, dalam
Santrock, 2011). Denham dkk; Kuebli; Thompson; Thompson & Goodvin (dalam
Santrock, 2011) menyatakan bahwa ada 6 perubahan perkembangan yang penting
dalam emosi di masa kanak-kanak menengah - akhir, yaitu: (i) meningkatkan
pemahaman emosi, (ii) meningkatkan pemahaman bahwa dalam sebuah situasi sosial
kita dapat mengalami lebih dari satu emosi, (iii) meningkatkan kecenderungan
untuk lebih menyadari kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi emosi, (iv)
meningkatkan kemampuan untuk menekan atau mengungkapkan reaksi emosi negatif,
(v) menggunakan strategi inisiatif diri untuk mengarahkan kembali perasaan, dan
(vi) kapasitas untuk berempati secara tulus. Pada masa kanak-kanak, kontrol
eksternal dapat membantu mereka dalam meregulasi emosi. Strategi untuk
meregulasi emosi negatif adalah dengan meningkatkan emosi positif (Gazzaniga
dkk, 2010). Stimulasi mengenai emosi tidak dapat terlepas dari stimulasi aspek
kognitif, karena dalam Gazzaniga (2010) disebutkan bahwa salah satu dari tiga
komponen emosi adalah penilaian kognitif. Saat orang tua mengajak anak bermain,
anak akan merasa senang dan tidak jarang mereka tertawa. Tertawa dapat
menstimulasi pelepasan hormon dopamin, serotonin, dan endorphin untuk
menstabilkan perasaan (Gazzaniga dkk, 2010). Anak yang memiliki regulasi diri yang
baik juga akan memiliki kemampuan mengatur perilaku, emosi, dan pikiran yang
baik serta dapat mempengaruhi kompetensi sosial dan prestasi mereka. Peran
orang tua sebagai kontrol eksternal dapat menjadi latihan bagi anak untuk
meregulasi emosi yang kedepannya akan beralih menjadi kontrol internal yang
muncul atas inisiatif sendiri, anak akan lebih pandai dalam mengatur situasi
dan menentukan strategi coping yang efektif. Dengan memiliki kemampuan
regulasi emosi, peluang anak untuk agresif akan berkurang karena mereka mampu
mengontrol emosi diri mereka sendiri.
<<INTERVENSI / AKTIVITAS BERMAIN>>
Ada beberapa alternatif intervensi berupa kegiatan
bermain yang dapat digunakan. Bermain memiliki banyak sisi positif diantaranya,
menyenangkan dan menggembirakan bagi anak, dorongan bermain muncul dari anak
bukan paksaan orang lain sehingga anak melakukan karena spontan dan sukarela,
serta bermain bersifat fleksibel, tidak diwajibkan, dimana anak menetapkan
aturan main sendiri dalam permainan dan berperilaku aktif (Musfiroh, 2014).
Sejalan dengan berjalannya perkembangan kognitif anak, berdasarkan pendapat
dari Piaget (dalam Musfiroh, 2014) mengemukakan bahwa tahapan bermain pada anak
usia 7-11 tahun adalah game with rules, dimana pada tahap ini anak mulai
bisa mengembangkan peraturan yang harus diikuti selama proses bermain, anak
mulai mengerti aturan-aturan objektif terlepas dari waktu dan orang-orang
tertentu yang dipelajari melalui aktivitas bermain.
Referensi kegiatan pertama adalah SOSIODRAMA /
BERMAIN PERAN. Proses bermain peran melibatkan interaksi secara verbal
dengan orang lain, dimana didalamnya terdapat percakapan, karakter dan masalah
yang melatih anak untuk bersosialisasi (Aida & Rini, 2015). Bermain peran
dalam intervensi ini akan berfokus pada permainan sosiodrama. Metode sosiodrama
dapat didefinisikan sebagai suatu dramatisasi untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak menggunakan bahan tertulis, tanpa latihan dan tanpa menyuruh anak
untuk menghafalkan sesuatu. Sehingga, sosiodrama merupakan salah satu teknik
pembelajaran untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah
sosial, membantu mengembangkan kemampuan anak untuk memecahkan masalah dan
untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan pada anak melalui
suatu suasana yang didramatisasikan sehingga anak dapat secara bebas
mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan (Khadijah & Armanila, 2017).
Terdapat lima tujuan dari metode sosiodrama menurut Herry (dalam Khadijah &
Armanila, 2017) diantaranya adalah untuk melatih anak mendengarkan dan
menangkap cerita singkat dengan teliti, untuk memupuk dan melatih keberanian
anak, memupuk daya cipta dan menggali kreativitas berpikir anak, belajar
menghargai dan menilai orang lain yang menyatakan pendapat serta untuk
mendalami masalah sosial (Khadijah & Armanila, 2017). Metode atau permainan
ini bisa diterapkan guru dalam kelas-kelas pembelajaran, dimana proses
pembelajaran bisa diselingi metode ini agar anak tidak hanya ,mengkonsumsi
materi namun juga bisa berproses dengan lingkungan. Pada usia 7-11 anak akan
mendapatkan banyak pengalaman melalui interaksi sosial, mengalami perkembangan
terbesar pada spasial dan bahasa serta usia dimana anak sadar anak hukum
sehingga dengan adanya permainan ini stimulasi terkait dengan aspek-aspek
perkembangan tersebut dapat terstimulasi dengan baik.
Referensi kegiatan kedua yaitu MENULIS JURNAL / DIARY.
Catatan harian adalah karangan tertulis yang berisi catatan pribadi seseorang,
catatan kejadian yang dialami maupun masalah sehari-hari (Utami, 2018). Komadi
(dalam Utami, 2018) menyebutkan bahwa menulis buku harian dapat memberikan 6
manfaat yaitu melatih pengungkapan pendapat dan perasaan secara spontan dan
sistematis, membantu berpikir obyektif dan berfikir bening, dengan menulis
seseorang bisa mengurangi benang kusut persoalan yang sebelumnya rumit,
mengurangi ketegangan dan stres, mengabadikan ide-ide, kenangan, atau peristiwa
yang dianggap penting dan berkesan serta dengan menulis seseorang bisa tumbuh
lebih dewasa dan bijak. Selain itu, menurut Luthfiyani (dalam Karlina, 2016),
salah satu manfaat yang didapatkan dari menulis diary adalah mengenali diri
sendiri. Dengan menulis, seseorang bisa melihat apa yang sebenarnya dialami dan
dirasakan oleh diri sendiri seperti perasaan emosi, senang, marah, kesal, dan
bingung, dengan menuliskan setiap kejadian atau perasaan yang dirasakan, maka
dapat dilihat kematangan seseorang dalam menghadapi permasalahan dalam dirinya.
(Karlina, 2016). Buku diary dapat menjadi wadah anak untuk memperkaya kosakata
dalam kehidupan sehari hari, dapat melihat apa yang dialami dan dirasakan oleh
diri sendiri ketika sedang sedih, senang, marah, kesal,, bingung dan
emosi-emosi lain (Karlina, 2016). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan
menulis diary dapat mengasah kosakata, grammar, menstimulasi perkembangan
bahasa, wadah untuk mencurahkan perasaan, masalah, mengenali emosi dan perasaan
anak mengajari anak untuk melakukan kegiatan menulis ekspresif serta refleksi
diri.
Referensi kegiatan ketiga berupa PUZZLE &
MAZE. Menurut Yuliani (dalam Lestari, 2020) penggunaan puzzle dalam
permainan dapat membantu anak dalam mencari, menemukan, menyusun strategi,
mencocokkan bentuk, melatih kesabaran dan belajar menyelesaikan masalah yang
sederhana. Puzzle didefinisikan sebagai sebuah permainan yang menguji
pengetahuan, skill dan intelegensi pada anak (Oxford Wordpower dalam Keshta
& Al-Faleet, 2013). Selain itu di beberapa penelitian menunjukkan bahwa
puzzle dapat mengembangkan atensi yang lebih baik pada anak (Keshta &
Al-Faleet, 2013). Permainan maze dapat melatih anak untuk memecahkan masalah
dalam mencari jalan keluar, cara berfikir serta kreativitas anak (Utami, Utami,
& Sarumpaet, 2018). Menurut Subagio dkk. (dalam Wulandari, Sumarni &
Rahelly, 2018) Permainan labirin atau maze merupakan sebuah permainan dimana
pemain harus menemukan jalan keluar dari sebuah pintu masuk ke sebuah pintu
keluar, hal ini dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif anak dalam
berpikir logis dan menemukan jalan keluar dari permasalahan. Guru dapat
memberikan anak buku yang berisi puzzle-puzle dan maze yang dapat dimainkan
atau dikerjakan anak, dimana jika anak berhasil menyelesaikan permainan
tersebut guru dapat menyediakan reward bagi anak. Buku permainan puzzle dan
maze tersebut juga dapat dipadukan dengan kegiatan pembelajaran yang ada misal
dalam studi kasus, pelajaran matematika, olahraga dll. Seperti yang telah
dijelaskan diatas hal ini adalah salah satu media untuk menanamkan memori pada
anak bahwa dia berhasil melakukan problem solving dengan baik sehingga saat
anak akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dia mampu menyelesaikan permasalahan
dengan baik.
Ketiga permainan tersebut dapat diakses pada link berikut. Semoga bermanfaat!
Aghnaita, A. (2017). Perkembangan fisik-motorik anak 4-5 tahun pada
permendikbud no. 137 tahun 2014 (Kajian konsep perkembangan anak). Al-Athfal:
Jurnal Pendidikan Anak, 3(2), 219-234.
Aida, N.,
& Rini, R. A. P. (2015). Penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan
kemampuan bersosialisasi pada pendidikan anak usia dini. Persona: Jurnal
Psikologi Indonesia, 4(1).
Alatas, H. I. (n.d). Potret perkembangan anak usia dini di Indonesia. http://documents1.worldbank.org/curated/en/363711468039868650/pdf/583790BRI0P0891BLIC10ECED0Dec021Ind.pdf
Gazzaniga, M. S., Heatherton, T. F., & Halpern, D. F. (2010). Psychological
Science (3ed). New York: WW Norton.
Karlina, D. A. (2016). Menulis buku diari dalam keseharian siswa untuk meningkatkan layanan bimbingan dan konseling di SD. Mimbar Sekolah Dasar, 3(2), 151-162.
Keshta,
A. S., & Al-Faleet, F. K. (2013). The effectiveness of using puzzles in
developing Palestinian tenth graders' vocabulary achievement and retention. Humanities
and Social Sciences, 1(1), 46-57.
Khadijah, K., & Armanila, A. (2017). Bermain dan Permainan Anak
Usia Dini. Medan: Perdana Publishing.
Lestari, L. D. (2020). Pentingnya mendidik problem solving pada anak melalui bermain. Jurnal Pendidikan Anak, 9(2), 100-108.
Musfiroh, T. (2014). Teori dan konsep bermain. Universitas Terbuka,
1-44.
Nitakusminar, M., Susilowati, E., & Koswara, H. (2020). Intervensi
kontrol-diri terhadap perilaku agresif anak jalanan di kota cimahi. Peksos:
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial, 19(2).
Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13ed). New York:
McGraw-Hill.
Utami, W. T. P. (2018). Developing relationship of teachers and students
through snap diary as a children’s friendly school support in elementary
school. In Social, Humanities, and Educational Studies (SHEs) Conference
Series, 1(1).
Utami, L.
O., Utami, I. S., & Sarumpaet, N. (2018). Penerapan metode problem solving
dalam mengembangkan kemampuan kognitif anak usia dini melalui kegiatan bermain.
Tunas Siliwangi: Jurnal Program Studi Pendidikan Guru PAUD STKIP Siliwangi
Bandung, 3(2), 175-180.
Wulandari,
A. D., Sumarni, S., & Rahelly, Y. (2018). Pengembangan game maze berbasis
media interaktif sesuai tema untuk anak usia 5-6 tahun di TK IT Izzudin
Palembang. Jurnal Pendidikan Anak, 7(1), 81-92.
Komentar
Posting Komentar