Agresivitas pada Anak


          Kasus agresivitas yang dilakukan oleh anak-anak mulai muncul ke media massa, salah satunya kasus yang dialami oleh MRP dan BA ini. Kira-kira bagaimana kaitan kasus tersebut dengan perkembangan anak dalam teori psikologi? Yuk baca!

Kasus pembunuhan di sungai kapuas yang sempat menghebohkan publik ini melibatkan dua orang pelajar kelas 6 sekolah dasar. Korban berinisial MRP merupakan teman dari pelaku berinisial BA yang berusia 11 tahun. Kronologi kejadian bermula saat MRP dijemput oleh teman-temannya, termasuk BA, untuk bermain di Sungai Kapuas. Tanpa diketahui penyebabnya, MRP dan BA berkelahi. BA diduga memukul kepala korban dengan balok kayu yang mengakibatkan MRP pingsan dan jatuh ke Sungai Kapuas. Saat korban jatuh temannya sempat mencari, tapi tidak menemukan MPR dan mereka lari tanpa memberitahukan keluarga korban. Korban dinyatakan hilang tenggelam, lalu ditemukan meninggal setelah dilakukan pencarian selama dua hari. Orangtua korban berharap agar pelaku dapat diproses secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku supaya memberi efek jera dan tidak terjadi kasus serupa kedepannya. Orangtua korban menilai bahwa pelaku yang masih dibawah umur sudah berani berkelahi dengan kayu sampai menimbulkan korban jiwa, karenanya pelaku diharapkan bisa dibina di Bapas agar menjadi lebih baik lagi. Saat ini kasus ditangani oleh unit PPA Polresta Pontianak karena melibatkan anak di bawah umur.


Seperti yang kita ketahui anak berusia 11 tahun sedang berada pada masa perkembangan yang cukup kompleks. Dalam Santrock (2011) dijelaskan bahwa ada delapan karakteristik Life Span Development. Tiga diantaranya adalah:

  1. Perkembangan manusia berlangsung sepanjang hidup. Semua tahap mempunyai makna dalam perkembangan manusia. Dalam rentang perkembangan tersebut akan terjadi proses gain atau loss. Ada masa dimana hampir semua aspek perkembangan anak berlangsung dengan cepat dan pesat, masa ini disebut sebagai masa keemasan (golden age), yang terjadi pada rentan usia 0-6 tahun (Amalia & Khoiriyati, 2018).  Dalam masa ini, semua kebutuhan anak harus terpenuhi seperti kebutuhan fisik, psikologis, pendidikan dan stimulasi yang tepat sesuai tahapan perkembangannya sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Kemampuan dan kesadaran orang tua dalam optimalisasi peran pengasuhan pada perkembangan anak baik dalam perkembangan intelektual, emosional dan spiritual pada periode golden age ini sangat menentukan kualitas anak di kemudian hari (Uce, 2017).

  2. Perkembangan melibatkan dimensi biologis, kognitif, dan sosioemosional.

  3. Perkembangan terbentuk melalui interaksi antara faktor biologis yang terdiri dari kualitas neurologis, fisiologis, dan fisik, faktor budaya yang terdiri dari pola asuh, pola pendidikan, pola makan, dan faktor individu yang terdiri dari kecerdasan, kepribadian, serta emosi.

Jika dianalisis sebatas ini, terdapat kemungkinan bahwa ketidakseimbangan dari berbagai interaksi dan dimensi dalam perkembangan BA dapat menjadi penyebab dari tindakan agresifnya. Dalam beberapa penelitian, sebenarnya perilaku agresif anak dapat terjadi karena beberapa faktor seperti orang tua, teman sebaya dan lingkungan, karena perkembangan anak pada dasarnya tidak bisa terlepas dari ketiga hal tersebut.


Dalam analisis ini, kami menekankan bahwa parenting memiliki peran besar dalam pembentukan karakter anak, termasuk perilaku agresif. Pola asuh negatif dan kurang optimalnya pemberian stimulasi pada anak dapat menjadi faktor penyebab perilaku anak yang agresif. Karena sudah terlanjur membahas aspek perkembangan, yuk kita kenali bersama aspek perkembangan apa saja yang mungkin menyebabkan perilaku agresif pada BA. 

  1. Perilaku (Behavior)

Dalam melakukan suatu perilaku koordinasi motorik anak sangat diperlukan. Perkembangan motorik kasar dan halus pada masa anak tengah - akhir sudah lebih terarah dan terkoordinasi (Santrock, 2011). Artinya anak seusia BA sudah mampu melakukan tindakan motorik terkoordinasi karena usianya sudah memasuki sekolah dasar yang termasuk dalam masa anak akhir. Dalam hal ini, BA memukul temannya dengan balok kayu yang dapat berakibat fatal pada korban di usia yang masih di bawah umur. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena anak menggunakan kekerasan fisiknya dan berperilaku agresif dalam menyelesaikan masalahnya. Menurut teori social learning dari Bandura dalam Wang (2017) perkembangan perilaku anak dapat terbentuk dari proses pembelajaran sosial dari orang tua maupun lingkungan, dimana orang tua yang menerapkan kedisiplinan yang keras pada anak tidak dapat berfungsi sebagai model manajemen emosi dan perilaku yang efektif dan interaksi orangtua-anak yang negatif memainkan peran penting dalam mensosialisasikan perilaku agresif pada anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya model yang negatif dari lingkungan, terutama dari orang tua dalam perkembangan perilaku anak dapat menjadi pemicu adanya perilaku agresif pada anak.

  1. Perkembangan kognitif

Perkembangan otak pada anak tumbuh lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain. Pada usia 3-6 tahun pertumbuhan tercepat terjadi di lobus frontalis, usia 6-pubertas pertumbuhan terbesar terjadi pada lobus temporal dan lobus parietal, dimana dalam hal ini terjadi peningkatan dalam kemampuan spasial dan bahasa (Santrock dalam Aghnaita, 2017). Berdasarkan teori perkembangan kognitif Jean Piaget dalam Santrock (2011) anak pada usia 11 tahun masuk pada tahap operational concrete, dimana anak dapat berpikir logis yang diterapkan pada hal-hal konkrit (mental action), berpikir abstrak, deduktif dan hipotesis, serta memecahkan masalah dengan cara yang lebih baik dari tahapan. Sebelumnya, BA yang menunjukkan agresivitasnya dengan berkelahi menggunakan kekerasan bisa menjadi indikator bahwa dia belum mampu mengontrol pikiran dan tindakannya. Perilaku anak tersebut juga berkaitan dengan kemampuan decision making dan problem solving, dimana BA cenderung mengambil keputusan impulsif dan penyelesaian masalah yang negatif. Penggunaan kekerasan secara langsung terhadap seseorang terkait dengan kecenderungan untuk membuat keputusan yang impulsif dan motivasi untuk mencapai tujuan sendiri tanpa memikirkan kerugian atau konsekuensi negatifnya (Espejo-Siles dkk., 2020). Pola asuh atau parenting adalah salah satu hal yang mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak, dimana menurut Wang (2017) bentuk pola asuh yang cenderung menggunakan kekerasan dapat membuat anak mengalami aktivitas berlebihan, impulsif dan mengalami bias kognitif agresif. Selain itu, pola pengasuhan yang keras juga membuat anak lebih mungkin untuk menyelesaikan masalah sosial dengan cara yang  agresif (Brody dkk., 2014).

  1. Perkembangan emosi dan moral

Perkembangan emosi dan moral menjadi hal yang tentunya tidak bisa dipisahkan dari perilaku agresif. Usia anak-anak tengah akhir seperti BA seharusnya sudah mengalami peningkatan pemahaman emosi. Menurut Selman dalam Santrock (2011), anak usia 6 - 8 mulai memahami bahwa orang lain memiliki perspektif yang berbeda dan dalam beberapa tahun kemudian mereka dapat meletakkan seseorang dalam posisi orang lain untuk menilai maksud, tujuan, dan tindakan orang lain. Pengambilan perspektif ini penting terutama dalam hal apakah anak akan mengembangkan perilaku dan sikap prososial ataukah antisosial (Collins dkk. dalam Santrock, 2011). Anak mengalami peningkatan kemampuan untuk menilai secara lebih menyeluruh suatu peristiwa yang menyebabkan reaksi emosional, diikuti dengan kemampuan menilai dan mengendalikan situasi yang tidak menyenangkan serta mengembangkan kapasitas empati. Pada kasus ini, BA tampaknya kurang mampu memahami perspektif orang lain dan meregulasi emosinya. 

Fondasi perilaku moral menurut teori psikoanalitik adalah rasa bersalah dan perasaan untuk menghindari perasaan bersalah. Menurut teori Piaget perkembangan moral anak usia 10 tahun keatas memasuki tahap moral otonom, yaitu tahap dimana anak menjadi sadar aturan dan hukum sehingga dalam menilai suatu tindakan mereka akan mempertimbangkan intensi pelaku maupun konsekuensinya. Menurut Piaget dalam Santrock (2011), anak-anak yang lebih besar mempertimbangkan intensi individual, dan berpendapat bahwa aturan dapat diubah dan perbuatan yang salah tidak selalu dihukum. Dari penjelasan diatas, perilaku agresif BA dapat terjadi karena kurangnya pemahaman moral dan perilaku prososial, serta kemungkinan adanya pemikiran bahwa dia tidak takut dengan konsekuensi dari perbuatannya. 

Dalam aspek perkembangan emosi dan moral, perilaku agresif anak salah satunya dapat dijelaskan sebagai akibat dari adanya negatif parenting. Menurut Qi (2019), sikap dan keyakinan anak terhadap perkembangan moral mereka pertama kali dipelajari melalui orang tua, di mana anak-anak mengamati bagaimana orang tua mereka berperilaku. Dengan kata lain, pengasuhan yang melibatkan kekerasan dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar bahwa seseorang dapat menyakiti orang lain untuk alasan yang masuk akal dan dibenarkan sehingga pengasuhan jenis ini dapat meningkatkan kemungkinan moral disengagement pada anak (Qi, 2019). Selain itu, orang yang cenderung merasionalkan kesalahan mereka akan secara bertahap mengembangakan perilaku tidak bermoral dan menunjukkan lebih banyak toleransi terhadap pelanggaran moral dan menunjukkan sikap menolak terhadap nilai-nilai sosial (Hyde dkk., 2010). 

  1. Lingkungan sosial dan teman sebaya

Kasus yang terjadi antara BA dan MRP ini merupakan agresivitas pada kelompok teman sebaya. Menurut Piaget & Sullivan dalam Santrock (2011) kelompok sebaya merupakan tempat anak belajar tentang hubungan timbal balik seperti kesetaraan dan keadilan. Menurut Wang (2017) adanya masalah dalam hubungan anak dengan teman sebaya merupakan salah satu hasil dari perilaku agresi yang tidak dapat dikendalikan oleh anak. Kerns dkk (dalam Wang, 2017) juga mengungkapkan bahwa anak-anak akan menggeneralisasikan strategi regulasi emosi mereka yang maladaptif dari interaksi orang tua-anak ke pengaturan teman sebaya sehingga dapat berakibat pada penerimaan teman sebaya yang lebih rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak yang menerapkan regulasi emosi negatif dalam hubungannya dengan orang tua juga akan menerapkan cara yang sama dalam hubungannya dengan teman sebaya sehingga regulasi emosi negatif yang diterapkan tersebut akan membuat anak kurang diterima oleh teman sebayanya. Menurut Dodge dalam Santrock (2011) anak laki-laki yang agresif cenderung memandang tindakan anak lain sebagai niat permusuhan ketika intensi anak tersebut tidak jelas dan ketika anak laki-laki agresif mencari isyarat-isyarat untuk menentukan intensi teman-temannya, mereka akan merespon dengan cepat, kurang efisien dan kurang reflektif dibandingkan anak-anak yang tidak agresif. Entah permasalahan apa yang sedang diperdebatkan oleh mereka berdua sebelum kejadian tersebut, tindakan BA mengindikasikan regulasi emosi dengan cara yang negatif dalam hubungan dengan teman sebayanya, sehingga tidak menutup kemungkinan jika sifat agresif tersebut disebabkan karena kepribadian anak yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pola asuh orang tua.


Dari kasus yang terjadi dan analisis psikologi dari sisi perkembangan anak, dapat disimpulkan bahwa lingkungan memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, baik itu lingkungan dengan orang tua maupun teman sebaya. Selain itu, anak memerlukan stimulasi dan bimbingan yang tepat pada setiap tahap perkembangannya untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi di kemudian hari akibat kurang optimalnya perkembangan anak. Dukungan dari orang terdekat di lingkungan anak seperti keluarga berperan penting dalam pertumbuhan anak. Karena itu lingkungan perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat mengembangkan dan menyempurnakan setiap potensi yang dibawa anak sejak lahir (Aghnaita, 2017).


Referensi:

Aghnaita, A. (2017). Perkembangan Fisik-Motorik Anak 4-5 Tahun Pada Permendikbud no. 137 Tahun 2014 (Kajian Konsep Perkembangan Anak). Al-Athfal: Jurnal Pendidikan Anak, 3(2), 219-234.

Agregasi Sindonews. (2020, Sept 28). Dipukul Balok oleh Temannya, Bocah SD Tewas Tenggelam di Sungai Kapuas. News Okezone https://news.okezone.com/read/2020/09/28/340/2284984/dipukul-balok-oleh-temannya-bocah-sd-tewas-tenggelam-di-sungai-kapuas

Amalia, E. R., & Khoiriyati, S. (2018). Effective learning activities to improve early childhood cognitive development. Al-Athfal: Jurnal Pendidikan Anak, 4(1), 103-111.

Brody, G. H., Yu, T., Beach, S. R., Kogan, S. M., Windle, M., & Philibert, R. A. (2014). Harsh parenting and adolescent health: a longitudinal analysis with genetic moderation. Health Psychology, 33(5), 401.

Espejo-Siles, R., Zych, I., Farrington, D. P., & Llorent, V. J. (2020). Moral disengagement, victimization, empathy, social and emotional competencies as predictors of violence in children and adolescents. Children and Youth Services Review, 118, 105337.

Hyde, L. W., Shaw, D. S., & Moilanen, K. L. (2010). Developmental precursors of moral disengagement and the role of moral disengagement in the development of antisocial behavior. Journal of abnormal child psychology, 38(2), 197-209.

Penulis. (2020, Sept 29). Berkelahi, Bocah SD Tewas Tenggelam di Sungai Kapuas. Kompas TV Pontianak. https://www.kompas.tv/article/111967/berkelahi-bocah-sd-tewas-tenggelam-di-sungai-kapuas

Qi, W. (2019). Harsh parenting and child aggression: Child moral disengagement as the mediator and negative parental attribution as the moderator. Child abuse & neglect, 91, 12-22.

Rahmayunita, H. (2020, Sept 30). Fakta-fakta di Balik Kematian Bocah Pasha, Tewas di Tangan Teman. Kalbar Suara https://kalbar.suara.com/read/2020/09/30/072000/fakta-fakta-di-balik-kematian-bocah-pasha-tewas-di-tangan-teman?page=all

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13ed.). New York: McGraw-Hill

Uce, L. (2017). The golden age: Masa efektif merancang kualitas anak. Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak, 1(2), 77-92.

Wang, M. (2017). Harsh parenting and peer acceptance in Chinese early adolescents: Three child aggression subtypes as mediators and child gender as moderator. Child abuse & neglect, 63, 30-40.



Disusun sebagai tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Stimulasi Perkembangan Anak & Remaja

Oleh: Audrey Marsha Kusumawardhani, Ayu Sarastika, & Windy Tria Yunika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HaRi yaNg mEnyeNangKan

JaWabaN TeKa-tEki

#FUNFACT LM Psikologi 5